Senin, 26 Desember 2016

ASAL USUL BANTEN

Masjid Agung Banten            
Masjid Agung Banten merupakan situs bersejarah yang terletak  di Desa Banten lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten. Masjid ini di bangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, Putera Sunan Gunung Jati, sekitar Tahun 1552 - 1570 M. Bangunan masjid Agung Banten merupakan suatu komplek dengan luas tanah 1,3 ha yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter. Pada sisi tembok timur dan masing-masing terdapat dua buah gapura dibagian utara dan selatan yang letaknya sejajar. Bangunan masjid menghadap ketimur berdiri diatas pondasi masif dengan ketingggian satu meter dari halaman. Masjid ini memiliki halaman yang luas dengan taman yang dihiasi Bunga - bunga Flamboyan. Bangunan Tiyamah merupakan bangunan tambahan yang letaknya di sebelah selatan masjid. Bangunan ini mempunyai langgam arsitektur Belanda kuno. Di bangun oleh Hendrick Lucas Cardeel, seorang arsitek Belanda yang beragama Islam dan oleh sultan diberi gelar Pangeran Wiraguana.
Bangunan ruang utama berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 25 x 19 m. Lantai terbuat dari ubin berukuran 30 x 30 cm, berwarna hijau muda dan dibatasi dinding pada keempat sisinya. Dinding timur memisahkan ruang utama dengan serambi timur. Pada dinding ini terdapat empat pintu (dengan lubang angin) yang merupakan pintu masuk utama. Pintu terletak dengan bidang segi empat dari dinding yang menonjol berukuran 174 x 98 dengan dua daun pintu dari kayu. Bagian atas pintu berbentuk lengkung setengah lingkaran. Lubang angin pada dinding timur ada dua buah yang mengapit pintu, pintu paling selatan berbentuk persegi panjang dan di dalamnya terdapat hiasan motif kertas tempel, Dinding barat tersebut berhiaskan pelipit rata, penyangga, setengah lingkaran dan pelipit cekung.
Dinding sisi utara membatasi ruang utama dengan serambi utama dengan sebuah pintu masuk berbentuk empat persegi panjang ukuran 240 x 125 cm, berdaun pintu dua buah dari kayu. Jendela pada dinding utara dua buah dengan dua daun jendela berbentuk segi empat berukuran 180 x 152 cm. Sedangkan dinding selatan hanya mempunyai satu pintu yang menghubungkan ruang utama dengan pawestren di dekat sudut barat dinding.
Bangunan lain yang ada di Masjid Agung Banten di mana diantaranya pada jarak 10 m dari kolam dibagian timur (depan) masjid terdapat menara berwarna kuning muda dan tingginya 23 m. Menara Mesjid Agung Banten dibangun oleh Lucas Cardeel, Menurut K.C Crucg berpendapat bahwa menara Mesjid Agung Banten ini sudah ada sebelum tahun 1569/1570, bahkan berdasarkan tinjauan seni bangunan dan hiasannya, ia berkesimpulan menara ini didirikan pada pertengahan kedua abad XVI yaitu antara tahun 1560 sampai 1570. Dan dapat dimasuki sampai ke atas melalui 82 buah anak tangga. Di dalam menara terdapat empat pintu dan bentuknya sama dengan pintu masuk menara. Bangunan menara terbagi atas tiga bangunan yaitu kaki, tubuh dan kepala.
Kolam berada di dalam serambi timur berbentuk persegi panjang terbagi atas empat kolam kotak yang dipisahkan oleh pematang tembok dan dihubungkan dengan lubang pada masing-masing pematang. Kolam berukuran 28,1 - 3,10 m dan dalamnya antara 75-100 cm. di sekeliling kolam terdapat tembok setinggi 1,29 m dan tebalnya 32,5 cm. Untuk mencapai kolam di sediakan tangga turun sebanyak tiga anak tangga dari arah halaman dan lima anak tangga dari serambi timur.
 Selain sebagai Obyek Wisata Ziarah, Masjid Agung Banten juga merupakan Obyek Wisata Pendidikan dan Sejarah. Dengan mengunjungi Masjid ini, Wisatawan dapat menyaksikan peninggalan bersejarah Kerajaan Islam di Banten pada Abad ke-16 M, serta melihat keunikan arsitekturnya yang merupakan perpaduan gaya Hindu Jawa, Cina dan Eropa.
Di serambi kiri Masjid ini terdapat Makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan Permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Nashr Abdul Kahar (Sultan Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhamad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu Latifah dan Ratu Masmudah.

Makam “Banten” :

1.      Makam Pangeran Arya Mandalika

Pangeran Arya Mandalika adalah Putra Sultan Maulana Yusuf dari Isteri yang lain (bukan Permaisuri Ratu Khadijah). Pangeran Arya Mandalika menjabat sebagai Panglima Perang merangkap Menteri Perlengkapan, terletak di Kampung Kroyo sebelum Kraton Kaibon Kec. Kasemen Kota Serang.

2.      Makam Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara,
Sultan Pangeran Aspati/Mulyasmara adalah salah seorang tokoh agama islam di Banten yang diperkirakan berasal dari Masyarakat Baduy yang masuk islam dan mengabdikan dirinya kepada Kesultanan Banten. Terletak di Desa Kasunyatan Kec. Kasemen Kota Serang.

3.      Makam Pangeran Jaga Laut
Adalah Putera Sultan Banten dari isteri yang lain (bukan Nyi Ratu Ayu Kirana). Beliau merupakan salah satu Ulama Besar Banten, yang menyebarkan islam di kawasan pesisir utara Banten. Terletak di Desa Kronjo.

4.      Penjiarahan Gunung Santri
Makam Syekh Muhamad Sholeh bin Abdurohman atau lebih dikenal dengan penjiarahan Gunung Santri terletak di atas Puncak Gunung Santri di Kec. Bojonegara Kab. Serang, terletak disebelah Barat Laut Daerah Pantai Utara, 25 Km dari Kota Serang atau sekitar 7 Km dari Kota Cilegon. Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel, setelah menimba ilmu beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanudin) pada masa itu penguasa Cirebon. Dan Syeh Muhamad Sholeh diperintahkan oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon dan sambil berdakwah yang kala itu Banten masih beragama hindu dan masih dibawah kekuasaan kerajaan pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahanya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatennya akhirnya Syekh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanudin di Gunung Lempuyang dekat kampung Merapit Desa UkirSari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan yang sedang bermunajat kepada Allah SWT. Setelah memaparkan maksud dan tujuannya, Sultan Hasanudin pun menolak untuk kembali ke Cirebon.
Karena kedekatannya dengan ayahnya Sultan Hasanudin yaitu Syarif Hidayatullah, akhirnya Sultan Hasanudin pun mengangkat Syekh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat dengan julukan “Cili Kored” karena berhasil dengan pertanian dengan mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.
Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syekh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri dan melanjutkan aktifitasnya sebagai mubaligh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syekh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara banten ini didasari dengan rasa keihlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya, semua itu patut di teladani oleh kita semua oleh generasi penerus untuk menegakkan amal ma’rup nahi mungkar.
Beliau Wafat pada usia 76 Tahun dan beliau berpesan kepada santrinya jika ia wafat untuk dimakamkan di Gunung Santri dan di dekat makan beliau terdapat pengawal sekaligus santri syekh Muhammad Sholeh yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syekh dalam meyiarkan agama Islam. Syekh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Hijriah/958 M.

5.      Makam Arya Wangsakara
Sumedang/Lengkong Santri, Desa Pagedangan Kec. Curug. Nama Tokoh utama yang dimakamkan di Komplek makam ini adalah Raden Arya Wangsakara bergelar Pangeran Wiraraja II atau terkenal dengan julukan Imam haji Wangsaraja. Ayahnya bernama Pangeran Wiraraja I atau bergelar Pangeran Lemah Beureum Ratu Sumedang Larang. Ibunya bernama Putri Dewi Cipta, anak Raden Kidang Palakaran Cucu Pucuk Umum dari Banten. Berdasarkan silsilah tersebut, Aria Wangsakara berasal dari Sumedang dan Cirebon, sementara pihak Ibu berasal dari Banten. RA Wangsakara juga seorang ulama, mendirikan kampung ini
sebagai basis syiar Islam dengan santri-santri yang bersamanya sejak dari Sumedang (Mukri Mian, 1983). Selain itu para ulama dan santrinya memiliki keterampilan dalam kaligrafi yang diakui hingga dunia internasional (Tata Septayuda, 2011). Setelah berpindah-pindah akibat ancaman dari VOC, akhirnya Raden Arya Wangsakara mendapatkan lokasi bermukim yang strategis, tersembunyi alam (hutan bambu) dan dilingkungi Sungai Cisadane dan kali kecil. Beliau memilih badan sungai yang mengarah kiblat.

 Sejarah Banten
Banten pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan Kota Pelabuhan yang sangat ramai, serta dengan Masyarakat yang terbuka dan Makmur. Banten juga merupakan bagian dari Kerajaan tarumanagara. Salah satu Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidang Hiyang atau Prasasti Lebak, yang ditemukan di Kampung Lebak ditepi Cidang Hiyang, Kec. Munjul, Pandeglang, Banten.
Prasasti ini baru ditemukan Tahun 1947 atau berisi dua baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi Prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanagara akibat serangan Kerajaan Sriwijaya, kekuasaan dibagian Barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda.
Banten menjadi salah satu Pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber Portugis tersebut, Banten adalah salah satu Pelabuhan Kerajaan itu selain Pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (tangerang), Kalapa dan Cimanuk.
Sekilas perjalanan keturunan Kesultanan Banten
            Menurut sejarah Cirebon (PS. Sulendraningrat), Prabhu Siliwangi ini menikahi seorang puteri Mangkubhumi Singapura/Mertasinga Caruban bernama Rara Subanglarang, yang telah memeluk agama Islam dan beberapa tahun mesantren di Pengguron Islam Syekh Kuro Krawang, dengan syarat menikah secara Islam, yang mana Syekh Kuro yang bertindak sebagai penghulunya dan di dudukkan di Keraton Pakuan Pajajaran sebagai Permaisuri dan di perkenankan tetap melakukan sembahyang lima waktu. Pernikahan Permaisuri Rara Subanglarang dari Prabhu Siliwangi di anugerahi tiga orang keturunan, ialah : Pangeran Walasungsang Cakrabuana , Ratu Mas Lara Santang dan Pangeran Raja Sengara/Kian Santang.  Menurut sejarah Cirebon, salah seorang putera mahkota terakhir dari kerajaan Pakuan Pajajaran ( dari pernikahan Prabhu Siliwangi-Rara Subanglarang) yang bernama Pangeran Cakrabuana beserta adik dan isterinya yang telah memeluk agama Islam yang masing-masing bernama Rara Santang dan Indhang Ayu membangun dukuh di kebon Pesisir ini. Yang semula kelak di sebut “Syarumban” yang berarti pusat / centrum dari percampuran penduduk dari berbagai daerah, yang selanjutnya di sebut ” Caruban”, Carbon, Cerbon, Crebon, kemudian Cirebon.
Berdasarkan sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang dengan Syarif Abdullah, sang adik Cakrabuana dan kakak perempuan Kian Santang.
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, seorang kemenakan dari putera adiknya, Nyai Rara Santang. Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran

Menurut sejarah Banten, Putera Prabhu Siliwangi Maharaja tatar Sunda memiliki anak dari kentring Manik Mayang Sunda, yang merupakan anak dari Prabhu susuk tunggal. Yaitu Prabhu Sanghyang Surawisesa Raja di Pakuan, dan Sang Surosowan di jadikan Dipati pesisir Banten. Sang Surosowan mempunyai 2 orang anak, Sang Arya Surajaya dan Ni Kawung Anten.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, Syarif Hidayatullah menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I. Maulana Hasanuddin dari cucu Sang Surosowan juga di gelari Gunungsepuh. Kasultanan Banten ( gunungsepuh) adalah kakak sulungnya kerajaan-kerajaan yang tersisa kini di Jawa : Cirebon, Sumedang, Panjalu ( asal hubungan wangsa Kediri di Tasikmalaya), Pakubuwono, Surakarta, Mataram Ngayogyakarta. Bahkan dari penelusuran sejarah di temukan kasultanan Banten Darussalam memiliki 4 propinsi di wilayah kerajaannya, meliputi Propinsi Lampung ( Tulangbawang), Propinsi DI Banten, Propinsi DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat. Dua  propinsi adalah Daerah Istimewa, dan salah satunya Ibukota Negara Indonesia, yakni DKI Jakarta.
Sultan Maulana Hasanuddin menikah dengan 2 orang isteri. Isteri pertamanya ialah puteri Sultan Demak III, Trenggono. Dari pernikahan dengan isteri pertama berputera sulung Maulana Yusuf. Dan putera kedua di angkat menjadi Dipati Jepara.
Dengan pernikahan dari isteri kedua, berketurunan puteri. Nantinya puteri Banten ini yang di cerita Makkutaknang Manuntungi Syekh Yusuf dari kerajaan Tallo menikah dengan puteri Banten  ( adik) saudara  Sultan Banten (II), Maulana Yusuf. Keturunannya nanti termasuk jadi Sultan Gowa-Tallo, Hasanuddin, ayam jantan dari timur. Yang pernah menguasai Negeri Kape ( Kahfi/ Goa), Afrika Selatan. Atau juga di sebut Cape oleh lidah barat.
Setelah Maulana Hasanuddin mangkat, putera sulungnya Maulana Yusuf di angkat menjadi Sultan Banten ke-2. Maulana Yusuf juga meneruskan misi ayahandanya untuk meluaskan wilayah kasultanan Banten.  Maulana Yusuf menempatkan misinya untuk menguasai kedaton terakhir kerajaan Pakuan Pajajaran.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada jaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.
Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 - 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Riwayat Perjuangan :
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
 Sunan Gunung Jati
 Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
 Maulana Yusuf 1570 - 1580
 Maulana Muhammad 1585 - 1590
 Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.)
 Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
 Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
 Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
 Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
 Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
 Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
 Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
 Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
 Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
 Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
 Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
 Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
 Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
 Aliyuddin II (1803-1808)
 Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
 Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
 Muhammad Rafiuddin (1813-1820)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar