Borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup
Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan
peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan
peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali
penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah
waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa
remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama
istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana
nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat
sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir
relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa
paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar
dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan
terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik
hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil
sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena
tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya.
Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini.
Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara
komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu
tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut
sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan
areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa
berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa
rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya
dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit
arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari
bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa.
Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang
sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada
kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional
kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan
tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat
dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun
penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan
untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur
ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini.
Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari
dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu
filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena
sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun
buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan
ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan
bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak
keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita /
seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua
manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara
sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak
berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari
candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang
mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas
dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan
dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran
sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati
dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah
sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos :
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan
terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan
yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti
ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar
yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam
pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula –
gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis
dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis
ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan
dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada
monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya
filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran
agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang
benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing
pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut
versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya.
Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group
tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita
sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.
Sebagai orang Indonesia
sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui
oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu
dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi
monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih
sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa
remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir
bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama
bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang
masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah,
bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya
ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya
dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk
mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat
menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul
keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik
hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman
kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi
ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu /
menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah
meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya
dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN
dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur
penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi
ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi
kelihatan kumuh
Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana,
puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi
Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding
bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya,
patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari
bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar
biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno
tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan
dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni
tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari
dibuatnya bangunan-bangunan tersebut
Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat
dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun
penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat
menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan
di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang
istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada
kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya
cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini.
Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan
dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa
judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan
teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari
sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak
keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita /
seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha.
Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat.
Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan
sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan
tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief
pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan
dengan segala bentuknya.
Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu
baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan
Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini
Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada
tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna
di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos :
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan
terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya
dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati
selayaknya seperti ajaran Sang Budha
Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang
kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam
pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling
kawula – gusti”
Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis
dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis
ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri
membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya
kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang
melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya.
Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama
yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan
sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan
bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan
mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga
Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group
tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita
‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Sebagai orang Indonesia
sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui
oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu
dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi
monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih
sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa
remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir
bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama
bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang
masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah,
bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya
ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya
dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk
mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat
menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul
keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik
hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman
kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi
ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu /
menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah
meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya
dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN
dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur
penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi
ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi
kelihatan kumuh
Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana,
puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi
Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding
bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya,
patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari
bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar
biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno
tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan
dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni
tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari
dibuatnya bangunan-bangunan tersebut
Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat
dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun
penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat
menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan
di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang
istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada
kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya
cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini.
Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan
dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa
judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan
teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari
sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak
keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita /
seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha.
Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat.
Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan
sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan
tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief
pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan
dengan segala bentuknya.
Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu
baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan
Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini
Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada
tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna
di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos :
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan
terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya
dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati
selayaknya seperti ajaran Sang Budha
Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang
kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam
pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling
kawula – gusti”
Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis
dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis
ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri
membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya
kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang
melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya.
Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama
yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan
sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan
bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan
mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga
Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group
tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita
‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Borobudur dan Filosofi Tuntunan Hidup
18 Desember 2011 09:13:02 Diperbarui: 25 Juni 2015 22:06:32 Dibaca :
1,478 Komentar : 0 Nilai : 0
Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan
nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan
peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa
kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara
piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun
limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan
anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu.
Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan
peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi
yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit,
stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang
kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu
sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa
yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan
terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha
mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang
meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti
filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada
pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan
emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun
menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial
dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu
tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya
menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya
malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh
Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana,
puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi
Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding
bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya,
patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari
bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar
biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno
tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan
dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni
tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari
dibuatnya bangunan-bangunan tersebut
Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat
dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun
penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat
menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan
di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang
istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada
kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya
cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini.
Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan
dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa
judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan
teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari
sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak
keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita /
seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha.
Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat.
Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan
sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan
tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief
pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan
dengan segala bentuknya.
Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu
baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan
Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini
Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada
tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna
di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos :
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan
terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya
dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati
selayaknya seperti ajaran Sang Budha
Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang
kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam
pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling
kawula – gusti”
Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis
dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis
ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri
membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya
kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang
melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya.
Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama
yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan
sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan
bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan
mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga
Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group
tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita
‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Sebagai orang Indonesia
sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui
oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu
dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi
monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih
sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa
remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir
bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama
bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang
masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah,
bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya
ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya
dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk
mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat
menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul
keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik
hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman
kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi
ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu /
menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah
meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya
dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN
dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur
penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi
ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi
kelihatan kumuh
Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana,
puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi
Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding
bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya,
patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari
bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar
biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno
tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan
dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni
tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari
dibuatnya bangunan-bangunan tersebut
Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat
dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun
penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat
menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan
di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang
istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada
kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya
cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini.
Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan
dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa
judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan
teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari
sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak
keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita /
seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha.
Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat.
Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan
sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan
tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief
pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan
dengan segala bentuknya.
Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu
baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan
Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini
Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada
tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna
di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos :
siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan
terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya
dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati
selayaknya seperti ajaran Sang Budha
Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang
kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam
pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling
kawula – gusti”
Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis
dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis
ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri
membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya
kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang
melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya.
Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama
yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan
sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan
bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan
mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga
Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group
tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita
‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar