Senin, 26 Desember 2016

Borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup


 Borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup

Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita / seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos : siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula – gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.

Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita / seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos : siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula – gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita / seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos : siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula – gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Borobudur dan Filosofi Tuntunan Hidup 18 Desember 2011 09:13:02 Diperbarui: 25 Juni 2015 22:06:32 Dibaca : 1,478 Komentar : 0 Nilai : 0 Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita / seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos : siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula – gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4
Sebagai orang Indonesia sudah sepantasnya kita bangga akan peninggalan nenek moyang yang diakui oleh UNESCO sebagai salah satu peninggalan peradaban dunia yang perlu dijaga dan dilestarikan ini. Sudah beberapa kali penulis mengunjungi monument agama Budha ini diawali ikut acara piknik sekolah waktu masih sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar) tahun limapuluhan, semasa remaja, sudah berkeluarga bersama istri dan anak-anak dan terakhir bersama istri, anak, menantu dan cucu-cucu. Kekaguman pasti ada terutama bagaimana nenek moyang yang tentu dengan peralatan dan tehnologi yang masih sangat sederhana bisa membangun candi yang demikian megah, bertingkat-tingkat, berukir relief yang rumit, stupa yang di dalamnya ada patung Budha-nya, satu stupa paling atas yang kosong yang semuanya dengan bahan baku batu massif yangbesar dan tentu sangat berat untuk mengangkatnya. Ada pula diceritakan mitos bahwa siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha didalam stupa akan terkabul keinginannya, sehingga kebanyakan pengunjung berusaha mencobanya, baik hanya untuk main-main mungkin pula ada yang meyakininya. Kekaguman kerdil sebagai turis local yang tidak mengerti filosofi keberadaan candi ini karena tidak mencari tahu dan tidak ada pula yang memberi tahu / menjelaskannya. Akibatnya tidak ada kesan emotional kejiwaan setelah meninggalkan monument ini. Pemerintah pun menjaga dan melestarikannya dengan pola pengelolaan secara komersial dibawah bendera satu BUMN dengan mengiklankannya sebagai salah satu tujuan wisata dengan brosur penjelasan sekadarnya terutama hanya menyangkut sejarah pembuatan candi ini. Komersialisasi yang dampaknya malah menyebabkan areal candi menjadi kelihatan kumuh Melihat bangunan-bangunan kuno di Eropa berupa katedral, gereja,istana, puri dan lain-lainnya sejujurnya terbersit rasa rendah diri karena candi Borobudurmenjadi kelihatan sangat kasar pembuatannya dibanding bangunan-bangunan tersebut. Bangunan yang demikian rumit arsitekturnya, patung-patung yang sangat indah serta sangat halus terbuat dari bahan-bahan yang sangat mewah pula mengundang detak kagum yang luar biasa. Ditambah mengamati pemeliharaan pada bangunan-bangunan kuno tersebut yang sangat professional sehingga nyaman untuk disinggahi dan dikagumi. Namun ada kesamaan dengan mengunjungi candi Borobudur yakni tiadanya kesan emosional kejiwaan karena juga tidak tahu filosofi dari dibuatnya bangunan-bangunan tersebut Selentingan informasi mengatakan bahwa candi Borobudur ternyata sangat dikagumi oleh para pemeluk agama Budha. Dikatakan baik para biksu maupun penganut agama Budha dari berbagai negara dan suku bangsa sangat menginginkan untuk bisa mengunjungi, berziarah dan mendapat pencerahan di candi Borobudur ini. Kalau demikian halnya, pasti ada sesuatu yang istimewa dari candi ini. Sesuatu yang pasti lebih mengarah pada kedalaman makna filosofis dari dibangunnya candi ini. Dari yang tadinya cuek jadi coba-coba mencari tahu filosofis apa dibalik bangunan ini. Sulit menyebutkan sumber resminya karena sebenarnyalah hanya ingatan dari bacaan baik dari tulisan di koran maupun buku-buku yang sudah lupa judul dan penulisnya ataupun dari obrolan ngalor-ngidul dengan teman-teman. Penulis meruntutkan mosaik-mosaik tuturan bijak dari sumber-sumber tadi dan mencoba menyimpulkannya – semoga tidak keliru–bahwa bangunan candi Borobudur adalah“pengejawantahan” cita-cita / seyogyanya bangunan pribadi manusia menurut ajaran agama Budha. Bahwa semua manusia dikarunia sifat dan nafsu baik maupun jahat. Oleh karenanya secara sadar hendaknya sifat dan nafsu jahat ditekan sedemikian rupa untuk tidak berkembang. Harapan ini dilambangkan dengan tataran/tingkat paling bawah dari candi. Kalau kita perhatikan relief pada tingkat ini adalah hal-hal yang mengingatkan keangkara murkaan dengan segala bentuknya. Makin ketingkat atas dari candi makin menonjolkan sifat dan nafsu baik yang dibina dan dikembangkan dilambangkan dengan relief perjalanan Sang Sidharta Gautama mencari kebenaran sejati tentang kehidupan ini Paripurna mendapatkan pencerahan kehidupan sejati dilambangkan pada tingkat atasnya yakni patung-patung Budha dengan sikap pasrah sempurna di dalam stupa-stupa. Dari perlambang inilah mungkin timbul mitos : siapa yang dapat menjangkau / menyentuh patung Budha di dalam stupa akan terkabul keinginannya. Menjangkau / menyentuh patung Budha mestinya dikiaskan yang bersangkutan telah memahami makna kehidupan sejati selayaknya seperti ajaran Sang Budha Tingkat paling atas dari candi Borobudur adalah stupa besar yang kosong, yang melambangkan ruang hampa luas tanpa batas yang dalam pengertian sebagian kita menyebutnya sebagai tataran “manunggaling kawula – gusti” Sambil mengharapkan pembetulan atau penyempurnaan pengertian filosofis dari dibangunnya candi Borobudur oleh nenek moyang kita versi penulis ini,setidak-tidaknya dapat menghilangkan perasaan rendah diri membandingkan dengan bangunan-bangunan kuno di Eropa bahkan sebaliknya kekaguman pada monument asli milik bangsa Indonesia ini sekarang melebihinya karena tingginya filosofi tuntunan hidup yang dikandungnya. Jika dijakini bahwa semua ajaran agama di dunia ini pada hakekatnya sama yakni membentuk manusia yang benar-benar memahami makna kehidupan sejati, barangkali para masing-masing pemeluknya dapat meng-imajinasikan bangunan candi Borobudur tersebut menurut versinya sendiri dengan mengganti relief-reliefnya maupun patung Budha-nya. Semoga Sebagai penutup disampaikan terima kasih kepada teman-teman manula group tennis “KASEPuhan” yang bila bergurau maka siapa yang cerita ‘aneh-aneh’ kita sebut tatarannya masih borobudur paling bawah.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/resiw/borobudur-dan-filosofi-tuntunan-hidup_550ae22d813311b275b1e5c4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar