Pangsi adalah salah satu pakaian khas adat Sunda warisan sesepuh baheula (nenek moyang para leluhur) yang eksistansinya perlu dilestarikan. Pangsi bukan sekedar pakaian penutup tubuh untuk melindungi badan secara fisik dari kondisi cuaca dan lingkungan sekitar, namun menurut Kang Ujang Curahman, produsen pangsi Sunda T3C asal Batu Karut Banjaran Kabupaten Bandung, pangsi memiliki filosofi khusus yang terkait dengan kehidupan masyarakat tempo dulu di Tatar Sunda.
Belum ada catatan dan dokumen khusus mengenai keabsahan
filosofi pangsi Sunda karena diwariskan secara turun-temurun. Itu sebabnya banyak orang berpendapat bahwa
filosofi pangsi Sunda hanya sekedar kirata (dikira-kira tapi nyata). Terlepas dari kontroversi masalah tersebut makna yang terkandung tidak bertentangan dengan adat, budaya, dan agama di Indonesia sehingga bisa dijadikan falsafah dan tuntunan hidup di masyarakat.
Para sesepuh baheula (nenek moyang) menjelaskan bahwa dalam setiap bentuk dan jahitan pangsi mengandung makna yang dapat dijadikan pengingat para pemakainya agar selalu introspeksi. Di bawah ini adalah penjelasan singkat mengenai
filosofi pangsi Sunda yang terkandung dalam bagian-bagian pangsi.
Cacagan Pangsi Sunda
Menurut Kang Curahman (Tjurahman), "Pangsi itu singkatan dari Pangeusi Numpang ka Sisi" yakni pakaian penutup badan yang cara pemakaiannya dibelitkan dengan cara menumpang seperti memakai sarung. Pangsi terdiri dari tiga susunan yakni "Nangtung, Tangtung, Samping. Banyak orang yang menyebut baju koko atau komprang dengan istilah pangsi karena warnanya hitam padahal sebenarnya desainnya sangat berbeda.
Berdasarkan fungsinya, pangsi terdiri dari dua bagian yaitu bagian atas (baju) disebut dengan "Salontreng" dan bagian kedua adalah bagian bawah (celana) disebut dengan "Pangsi". Namun demikian kita tidak bisa menyalahkan mereka yang menyebut "Pangsi" untuk keduanya yakni baju dan celana.
Dulu, susunan pangsi buhun tidak dipasang karet, tali, dan saku celana. Selain itu warna samping (9) adalah putih, warna salontreng hitam, dan warna pangsi hitam. Namun karena tuntutan kebutuhan, kini model pangsi sedikit dimodifikasi tanpa menghilangkan arti dan makna filosofi pangsi itu sendiri.
Di bagian salontreng (1) dibuat tanpa kerah baju (2) dan terdiri dari lima atau enam kancing (6). Dalam agama Islam, lima kancing menunjukkan rukun Islam sedangkan enam kancing menunjukkan rukun iman. Jahitan yang menghubungkan badan dan tangan disebut dengan istilah beungkeut (4) yang mengandung arti "Ulah suka-siku ka batur, kudu sabeungkeutan, sauyunan, silih asah, silih asih, silih asuh, kadituna silih wangi, asal kata dari nama kerajaan Sunda Siliwangi". Dalam bahasa Indonesia dapat diartikan "Tidak boleh jahil dan licik kepada sesama, harus satu kesatuan dan kebersamaan dalam ikatan batin, saling memberi nasihat, saling mengasihi, dan saling menyayangi, selanjutnya saling mengharumkan nama baik".
Di ujung tangan (3), di ujung celana (11) terdapat jahitan beungket khusus dan di bagain baju terdapat dua saku (5). Di bagian bawah (pangsi) dipasang karet dan tali yang berfungsi sebagai pengikat. Dulu tidak seperti ini (tanpa tali dan karet) karena pemakaiannya dilakukan dengan cara dibelitkan seperti sarung. Di bagian samping (9) dipasang jahitan pengikat (8). Samping (9) yang dulu berwarna hitam, kini dimodifikasi menjadi warna hitam karena disesuaikan dengan model dan mode pakaian modern. Menurut Kang Curahman, samping mengandung arti "Depe Depe Handap Asor", dalam bahasa Indonesia artinya "Selalu rendah hati dan tidak sombong".
Di bagian bawah (pangsi) terdapat Tangtung (10) yang mengandung makna "Tangtungan Ki Sunda Nyuwu Kana Suja", dalam bahasa Indonesia artinya "Mempunya pendirian yang teguh dan kuat sesuai dengan aturan hidup". Sedangkan Suja atau Nangtung (12) mengandung makna "Nangtung, Jejeg, Ajeg dina Galur. Teu Unggut Kalinduan, Teu Gedag Kaanginan", dalam bahasa Indonesia artinya Teguh dan kuat pendirian dalam aturan dan keyakinan, semangat tinggi dan tidak mudah goyah".
Kini istilah pangsi sering diidentikan dengan dengan baju dan celana warna hitam-hitam, padahal jika dilihat dari bentuk dan susunan jahitannya sangat berbeda. Namun demikian kita tidak bisa menyalahkan orang yang menyebut pangsi dengan istilah pakaian pangsi atau baju pangsi meski sebenarnya pangsi adalah bagian bawah pakaian atau celana, sedangkan bagian atas adalah salontreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar