Senin, 26 Desember 2016

FILOSOFI KOTA BANDUNG

1. Bandung Pusat Tatar Ukur Menurut naskah Sadjarah Bandung, semula daerah Bandung merupakan pusat Tatar Ukur. Di daerah itu berdiri sebuah kerajaan kecil, yakni Kerajaan Timbanganten yang berada di bawah hegemoni Kerajaan Sunda/Pajajaran. Namun tidak disebutkan, kapan kerajaan yang disebut pertama mulai berdiri. Sekitar tahun 1450 Kerajaan Timbanganten dengan pusat pemerintahan (ibukota) Tegalluar1 diperintah oleh Ujang Euken alias Ujang Talaga yang kemudian dikenal dengan gelar Prabu Pandaan Ukur. Sejak pemerintahan raja itu, wilayah kekuasaan kerajaan tersebut disebut Tatar Ukur atau Bumi Ukur. Prabu Pandaan Ukur kemudian digantikan oleh puteranya bernama Dipati Agung dan ibukota kerajaan dipindahkan ke Bayabang, sebuah tempat di tepi Sungai Citarum. Di bawah pemerintahan Dipati Agung, Tatar Ukur meliputi daerah cukup luas, terdiri atas delapan daerah. Tiap daerah menggunakan kata “ukur” sebagai nama depannya. Kedelapan daerah 1 Tegalluar adalah tempat yang terletak antara Banjaran dan Cipeujeuh, daerah Bandung selatan. 1 dimaksud adalah : Ukur Maraja, Ukur Pasirpanjang, Ukur Biru (terbagi atas dua daerah), Ukur Curug Agung-Kuripan, Ukur Manabaya, Ukur Sagaraherang, dan Ukur Karawang. Kedudukan Dipati Agung sebagai penguasa Tatar Ukur selanjutnya digantikan oleh menantunya yang bernama Raden Wangsanata. Ia kemudian lebih dikenal dengan nama Dipati Ukur. Di bawah pemerintahannya, wilayah Tatar Ukur bertambah luas, terdiri atas sembilan daerah yang disebut “Ukur Sasanga”. Kesembilan daerah tersebut adalah : 1) Ukur Bandung : Banjaran dan Cipeujeuh 2) Ukur Pasirpanjang : Majalaya dan Tanjungsari 3) Ukur Biru : Ujungberung Wetan 4) Ukur Kuripan : Ujungberung Kulon, Cimahi, dan Rajamandala 5) Ukur Curugagung : Cihea 6) Ukur Aranon : Wanayasa (Krawang) 7) Ukur Sagaraherang : Pamanukan dan Ciasem 8) Ukur Nagara Agung : Gandasoli, Adiarsa, Sumedangan, Ciampel, Tegal-waru, Kandangsapi, dan Cabangbungin 9) Ukur Batulayang : Kopo, Rongga, dan Cisondari. Sementara itu Kerajaan Sunda/Pajajaran runtuh (1579/1580) dan tak lama kemudian muncul Kerajaan Sumedang Larang – di daerah kota Sumedang sekarang – dengan raja pertama Prabu Geusan Ulun (1580 -1608). Kerajaan dengan ibukota Kutamaya ini wilayahnya mencakup daerah yang kemudian bernama Priangan, kecuali Galuh. Sejak Kerajaan Sunda runtuh, Tatar Ukur menjadi daerah kekuasaan Sumedang Larang. Mungkin hal itu terjadi karena Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Sunda/Pajajaran. Kondisi itu berlangsung sampai dengan tahun 1620. Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa (1608-1620), anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, kerajaan dan wilayah Sumedang Larang, termasuk Tatar Ukur, jatuh ke bawah kekuasaan Sultan Agung raja Mataram (1613-1645) sejak tahun 1620. Sejak itu daerah tersebut dinamai Priangan dan status Sumedang Larang berubah dari kerajaan menjadi kabupaten (kabupaten vassal Mataram). Namun demikian, pemerintahan di Sumedang Larang tetap dipegang oleh Raden Aria Suriadiwangsa, tetapi bukan sebagai raja, melainkan sebagai bupati, merangkap wedana bupati (bupati kepala) daerah Priangan (1620 -1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata yang dikenal dengan sebutan Rangga Gempol I. Sementara itu, Tatar Ukur tetap diperintah langsung oleh Dipati Ukur yang berkedudukan di Bandung. Ketika Dipati Rangga Gempol I (Rd. Aria Suriadiwangsa) mendapat tugas dari Sultan Agung untuk menaklukkan Sampang (daerah Madura), jabatan Wedana Bupati Priangan dipegang oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, adik Rangga Gempol I. Pada waktu itu, Sumedang diserang oleh pasukan Banten. Pangeran Dipati Rangga Gede tidak mampu mengatasi serangan tersebut. Oleh karena itu, ia mendapat hukuman dari Sultan Agung berupa penahanan atas dirinya di Mataram. Jabatan Wedana Bupati Priangan diserahkan oleh Sultan Agung kepada Dipati Ukur (1624-1631), dengan syarat ia bersedia membantu usaha Mataram mengusir Kompeni dari Batavia. Sampai waktu itu, Dipati Ukur tetap berkedudukan di Bandung. Berarti Bandung tetap merupakan pusat Tatar Ukur. 2. Latar Belakang Pembentukan Kabupaten Bandung Tahun 1628 Sultan Agung menugasi Dipati Ukur membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa. Namun Bahureksa tidak mengadakan hubungan dengan Dipati Ukur. Oleh karena itu Dipati Ukur tidak dapat melakukan perundingan dengan Bahureksa. Pada waktu yang telah ditentukan, Dipati Ukur memimpin pasukannya bergerak menuju Batavia untuk menyerang Kompeni. Ketika pasukan dipeti Ukur tiba di Batavia, ternyata pasukan Mataram belum datang. Oleh karena itu, Dipati Ukur gagal mengusir Kompeni dari Batavia. Kegagalan itu terjadi karena ketidakseimbangan persenjataan dan tidak mendapat dukungan dari pasukan Mataram. Padahal seharusnya pasukan Mataram yang menjadi kekuatan ini penyerangan, dibantu oleh pasukan Dipati Ukur. Atas kegagalan menjalankan tugas dari raja Mataram, rupanya Dipati Ukur berpikir, daripada ia menerima hukuman berat dari Sultan Agung, lebih baik ia tidak setia lagi terhadap Mataram. Dipati Ukur beserta sejumlah pengikutnya mengabaikan kekuasaan Mataram dan melakukan gerakan memberontak terhadap Mataram. Sikap Dipati Ukur tersebut segera diketahui oleh penguasa Mataram. Pihak Mataram berusaha keras menumpas pemberontakan Dipati Ukur. Bila pemberontakan itu tidak segera ditumpas, akan merugikan pihak Mataram. Dengan bantuan beberapa kepala daerah di Priangan, antara lain Ki Astamanggala, Umbul Cihaurbeuti2, akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Sebaliknya, versi Priangan menyatakan bahwa orang yang tertangkap dan dihukum mati itu bukan Dipati Ukur, melainkan orang yang dikira oleh pihak Mataram adalah Dipati Ukur3. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632. Dengan berakhirnya pemberontakan Dipati Ukur yang berarti berakhir pula masa jabatan Dipati Ukur sebagai Wedana Bupati Priangan, maka di daerah Priangan terjadi kekosongan pemegang jabatan wedana bupati. Bagi pihak Mataram, keadaan itu dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak politik di Priangan. Tidak mustahil tiap kepala daerah setempat bermabisi menjadi wedana bupati. Tidak mustahil pula pengikut setia Dipati Ukur melanjutkan gerakan pemberontakan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Sementara itu, pihak Mataram tetap berusaha untuk menguasai Priangan, karena daerah itu penting artinya sebagai daerah pertahanan Mataram di bagian barat terhadap kemungkinan serangan Kompeni atau pasukan Banten. Sekarang Cihaurbeuti termasuk wilayah Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis. 3 Kajian mengenai ceritera Dipati Ukur, periksa buku Edi S. Ekadjati, Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah, terbitan Pustaka Jaya Jakarta, 1982 (Disertasi yang diterbitkan). 3. Pembentukan Kabupaten Bandung Untuk menghindari terjadinya gejolak di daerah Priangan yang akan merongrong kekuasaan Mataram, di daerah itu Sultan Agung melakukan reorganisasi pemerintahan. Wilayah Priangan (di luar Sumedang dan Galuh) dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu Bandung, Sukapura (sekarang Tasikmalaya), dan Parakanmuncang (sekarang sebuah desa di daerah Cicalengka). Pembentukan ketiga kabupaten itu ditandai dengan pengangkatan Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) sebagai Bupati Bandung dengan gelar Tumenggung Wiraangunangun, Tumenggung Wiradadaha (Umbul Sukakerta) sebagai Bupati Sukapura, dan Tumenggung Tanubaya (Umbul Sindangkasih) sebagai Bupati Parakanmuncang. Pelantikan ketiga bupati itu berlangsung di ibukota Mataram dan dinyatakan dalam “Piagem Sultan Agung” bertanggal 9 Muharam Tahun Alip, penanggalan Jawa (Lihat Lampiran). Piagem tersebut jelas merupakan bukti sejarah yang kuat dan sumber primer yang menyatakan adanya daerah bernama Bandung dan di daerah itu dibentuk pemerintahan kabupaten. Dengan kata lain, tanggal 9 Muharam Tahun Alip itulah Hari Jadi Kabupaten Bandung, sekaligus hari jadi Kabupaten Sukapura dan Kabupaten Parakanmuncang. Menurut penafsiran F. de Haan seorang ilmuwan Belanda dalam bukunya berjudul Priangan; De Preanger Regentschappen Onder het Nederlandsch Bes-tuur Tot 1811, jilid III (1912), tanggal 9 Muharam Tahun Alip identik dengan tanggal 20 April 1641. Akan tetapi menurut perhitungan Prof Dr. Mr. Soekanto dan Dr. J. Brandes, tanggal 9 Muharam Tahun Alip bertepatan dengan tanggal 16 Juli 1633. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bandung memilih tanggal 20 April 1641 sebagai hari jadi Kabupaten Bandung4. Setelah ketiga orang bupati tersebut di atas dilantik oleh Sultan Agung di ibukota Mataram, mereka kembali ke daerah kabupaten masing-masing dan mencari tempat untuk ibukota kabupaten. Menurut naskah Sejarah Bandung, Tumenggung Wiraangunangun (Ki Astamanggala) dari Mataram kembali ke daerah Priangan dan menuju Timbanganten. Di sana ia terdapat 200 cacah di bawah pimpinan Raden Ardisuta, putera Demang Reksakusuma. Dengan membawa cacah tersebut, Tumenggung Wiraangunangun kemudian menuju suatu tempat di tepi Sungai Citarum dekat muara Sungai Cikapundung, tidak jauh dari pertemuan Sungai Citarum dengan Sungai Citarik (daerah Kabupaten Bandung bagian selatan). Tempat itu dibangun menjadi ibukota Kabupaten Bandung dengan nama Krapyak (Dayeuhkolot sekarang). Krapyak dipilih sebagai ibukota kabupaten rupanya dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tempat itu terletak di tepi sungai Citarum dan tidak jauh dari muara Sungai Cikapundung. Dengan demikian, dari segi kepentingan komunikasi dan transportasi, lokasi Krapyak cukup baik, karena waktu itu transportasi yang cukup cepat hanya dapat dilakukan melalui sungai yang dapat dilayari perahu atau rakit. Kedua, lahan daerah Krapyak cukup subur dan dekat dengan sumber air, sehingga sangat memungkinkan bagi berlangsungnya kehidupan penduduk. 4 Oleh karena terhadap tanggal 9 Muharam tahun Alip terdapat dua penafsiran, maka pemilihan tanggal 20 April 1641 sebagai Hari Jadi Kabupaten Bandung sebaiknya dikaji ulang. Boleh jadi, setelah Bupati Bandung berkedudukan Krapyak itulah bupati mulai menyusun struktur pemerintahan dengan mengangkat pejabatpejabat bawahan bupati, yaitu patih, juru tulis (sekretaris) kabupaten, jaksa, penghulu, demang/kepala cutak (kepala distrik), dan lain-lain. Pejabat-pejabat itu biasanya masih ada hubungan keluarga dengan bupati. Untuk menjalankan pemerintahan tentu dibangun infrastruktur. Namun rupanya infrastruktur yang dibangun di Krapyak masih sangat terbatas. Boleh jadi infrastruktur utama yang dibangun hanya pendopo, itupun dalam bentuk sangat sederhana. Dalam surat seorang Belanda bernama Tency yang ditujukan kepada N. Engelhard (7 Juli 1794), antara lain disebutkan bahwa “di ibukota Kabupaten Bandung waktu itu terdapat sebuah bangunan terbuat dari papan yang memiliki empat ruangan. Selain itu tidak ada lagi bangunan besar”. Dapat dipastikan yang dimaksud dengan bangunan itu adalah pendopo kabupaten, kantor bupati sekaligus tempat tinggal bupati beserta keluarganya. 4. Wilayah Administratif dan Pemerintahan Wilayah administratif Kabupaten Bandung pada awal berdirinya belum diketahui secara pasti. Namun demikian, dapat dipastikan bahwa daerah Krapyak dan sekitarnya merupakan pusat wilayah Kabupaten Bandung. Mungkin daerah Priangan di luar wilayah Kabupaten Sumedang, Parakanmuncang, Sukapura, dan Galuh, yang semula merupakan daerah bagian dari Tatar Ukur (“Ukur Sasanga”) pada masa pemerintahan Dipati Ukur, termasuk pula ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bandung. Bila dugaan ini benar, maka Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak, wilayahnya mencakup daerah Gandasoli, Adiarsa, Cabangbungin, Banjaran, Cipeujeuh, Majalaya, Cisondari, Rongga, Kopo, Ujungberung, dan lain-lain. Meskipun berada di bawah pengaruh Mataram, namun Kabupaten Bandung sepenuhnya berpemerintahan otonom. Hal itu disebabkan jarak yang sangat jauh antara Bandung dengan pusat Kerajaan Mataram, sulitnya komunikasi antar kedua daerah, dan di Priangan tidak ada lagi wedana bupati sebagai wakil penguasa Mataram. Oleh karena itu, kekuasaan dan kehidupan Bupati Bandung khususnya dan bupati di daerah Priangan umumnya mirip dengan raja. Bahwa kedudukan bupati di Priangan dalam pemerintahan mirip dengan raja, antara lain ditunjukkan oleh simbol-simbol kebesaran yang dimilikinya, seperti payung kebesaran yang disebut songsong, pakaian kebesaran, senjata pusaka, kuda tunggang khusus, pengawal khusus, prajurit bersenjata, dan lain-lain, serta besarnya kekuasaan dan pengaruh bupati terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, dalam pandangan rakyat, bupati memiliki otoritas penuh dan merupakan pemimpin tradisional. Dalam struktur masyarakat pribumi waktu itu, bupati adalah elit penguasa dan golongan menak (priyayi). Ia menduduki posisi tertinggi, baik dalam hirarki pemerintahan maupun dalam struktur sosial. Di daerah Priangan, bupati disebut dalem atau pagusten. Sebagai penguasa daerah, bupati Bandung dan bupati lainnya di Priangan, menempati dua posisi utama. Pertama, posisi bupati terhadap raja Mataram sebagai atasannya. Kedua, posisi bupati terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Dalam posisi pertama, hubungan bupati dengan raja terbatas pada kewajiban menyerahkan upeti tiap tahun, meng-hadap raja pada waktu-waktu tertentu, misalnya dalam rangka menghadiri upacara Grebeg Mulud. Dalam posisi kedua, bupati memiliki fungsi dan peranan sebagai penguasa daerah dengan otoritas tertinggi untuk memerintah, melindungi, mengadili, memelihara keamanan dan ketertiban. Dalam menjalankan fungsi dan peranannya itu, bupati dibantu oleh pejabat-pejabat bawahannya, seperti yang telah disebutkan. Kedudukan dan kekuasaan bupati dalam bidang pemerintahan diperkuat oleh hak-hak istimewa bupati, seperti hak mewariskan jabatan; hak memungut pajak berupa uang, barang, dan tenaga kerja (ngawula atau pancen); hak berburu dan menangkap ikan; dan hak mengadili. Diperolehnya hak mewariskan jabatan berarti sistem pergantian bupati berlangsung secara turuntemurun. Sementara itu, para kepala daerah bawahan bupati harus melakukan seba, yaitu menghadap bupati pada waktu-waktu tertentu untuk melaporkan keadaan daerah kekuasaan masing-masing dan menerima tugas baru dari bupati. Dalam melaksanakan tugasnya, bupati pun sewaktu-waktu mengadakan perjalanan dinas mengontrol daerah-daerah kekuasaannya. Dengan demikian, hubungan antara bupati dengan para pejabat bawahan dan rakyatnya menjadi kuat serta terjalin dalam ikatan feodal yang melembaga menjadi tradisi. Sementara itu, Kerajaan Mataram setelah Sultan Agung meninggal (1645) menjadi lemah. Di bawah pemerintahan Sunan Amangkurat I alias Sunan Tegalwangi (1645-1677), putera dan pengganti Sultan Agung, sebagian wilayah kekuasaan Mataram jatuh ke pihak lain. Hal ini terjadi sebagai akibat kemelut yang berlangsung di lingkungan keraton dan serangan dari luar, antara lain akibat pemberontakan Trunojoyo. Dalam situasi demikian itu, Kompeni (VOC) campur tangan. Akibatnya wilayah kekuasaan Mataram, termasuk daerah Priangan, berangsur-angsur jatuh ke tangan Kompeni. Daerah Priangan barat dan tengah, termasuk Kabupaten Bandung, jatuh ke bawah kekuasaan Kompeni akibat perjanjian Mataram -Kompeni tanggal 19-20 Oktober 1677. Berdasarkan perjanjian Mataram -Kompeni tanggal 5 Oktober 1705, Kompeni menguasai Priangan timur dan Cirebon. Sejalan dengan sistem pemerintahan tak langsung yang dianutnya, berdasarkan besluit (surat keputusan) tanggal 15 November 1684 Kompeni mengangkat kepala-kepala daerah di Priangan untuk memerintah daerah masingmasing atas nama Kompeni. Sementara itu, Gubernur Kompeni Couper melakukan reorganisasi wilayah di Priangan. Dalam hal ini, wilayah Bandung meliputi sebagian Tatar Ukur, Kuripan, Sagalaherang, dan sebagian daerah Tanahmedang (daerah Cicalengka?). Kondisi itu berlangsung sampai dengan tahun 1706. Untuk mengawasi sikap dan kinerja para bupati di Priangan, Kompeni mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai “Bupati Kompeni” (1706-1723). Namun demikian, pemerintahan di Kabupaten Bandung tetap berlangsung berdasarkan sistem pemerintahan pribumi seperti sebelumnya, karena pada dasarnya Kompeni tidak mencampuri urusan pemerintahan kabupaten. Kedudukan bupati dibiarkan utuh dan Kompeni mengakui hak-hak istimewa bupati seperti masa sebelumnya, yaitu hak mewariskan jabatan, memungut pajak berupa uang dari berbagai sektor dan pajak berupa barang, memperoleh tanaga kerja (heerendienst), mengadili penduduk yang bersalah, berburu di hutan dan menangkap ikan di sungai, dan lain-lain. Sementara itu Kompeni “melindungi” struktur politik dan sosial pribumi. Beberapa waktu lamanya Kompeni hanya menuntut para bupati benarbenar mengakui kekuasaan Kompeni di daerah masing-masing, dengan jaminan bupati menjual hasil-hasil bumi tertentu kepada VOC. Untuk mengeruk keuntungan dari daerah Priangan, Kompeni menyelenggarakan sistem penanaman wajib tanaman tertentu, terutama kopi, dan pengerahan rakyat untuk kerja wajib. Sistem ini dikenal dengan nama Preangerstelsel (“Sistem Priangan”) yang berlangsung hingga tahun 1870. “Kebijakan” Kompeni tersebut menyebabkan bupati tetap memiliki otoritas penuh dan memerintah daerahnya secara otokratis. Dalam kedudukannya sebagai penguasa daerah dan pemimpin tradisional, bupati menjalankan kekuasaan pribadi atas rakyatnya. Tugas dan kewajiban bupati yang berkaitan dengan kepentingan Kompeni adalah : 1. Menyelenggarakan penanaman kopi, lada, tarum (nila), kapas, dan lain-lain. 2. Tiap tahun menyerahkan hasil panen tanaman wajib kepada Kompeni (VOC) dan mengurus pengangkutannya. 3. Bertanggungjawab atas jumlah pohon kopi yang harus dipelihara, dan atas hasil panen yang sudah ditentukan. 4. Mengerahkan tenaga kerja rodi. 5. Memelihara keamanan dan ketertiban daerah masing-masing. 6. Melakukan sensus penduduk tiap tahun dan melaporkannya kepada Kompeni di Batavia. 7. Mengawasi kegiatan keagamaan, terutama kegiatan para kiyai. Dalam menjalankan tugasnya, bupati dibantu oleh para pejabat bawahannya seperti pada masa sebelumnya. Setelah Kompeni bertindak lebih intensif, kedudukan dan kekuasaan bupati menjadi menurun, karena Kompeni turut campur dalam pemerintahan kabupaten, tanpa berunding terlebih dahulu dengan bupati. Di kantor kabupaten ditempatkan seorang pejabat bangsa Eropa untuk mengawasi pelaksanaan Preangerstelsel, khususnya penanaman kopi yang makin ditingkatkan. Pergantian bupati secara turun-temurun yang semula diakui oleh Kompeni, kemudian ditentukan oleh penguasa Kompeni. Akan tetapi dalam prakteknya pergantian bupati terus berlangsung secara turu-temurun. Hal itu dibiarkan oleh Kompeni, karena Kompeni tidak memiliki pengaruh terhadap rakyat. Ruang lingkup kekuasaan Kompeni hanya sampai pada bupati. Namun Kompeni tidak dapat bertindak tegas terhadap bupati. Secara garis besar hal itu disebab oleh dua faktor. Pertama, jabatan bupati tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, selain keturunan bupati, karena hanya keturunan bupati yang memiliki kharisma dan pengaruh besar untuk menjalankan pemerintahan tradisional dan menggerakkan rakyat. Kedua, pentingnya peranan bupati bagi keperluan Kompeni, khususnya untuk keberhasilan Preangerstelsel, terutama keuntungan dari produksi kopi. Sampai dengan akhir kekuasaan Kompeni (akhir abad ke-18), bupati yang memerintah Kabupaten Bandung dengan ibukota Krapyak berjumlah enam orang secara turun-temurun, yaitu Tumenggung Wiraangunangun (hingga tahun 1681), Tumenggung Ardikusumah (1681-1704), Tumenggung Anggadireja I (1704-1747) putra bupati kedua, Tumenggung Anggadireja II (1747-1763) putra bupati ketiga, Tumenggung Anggadireja III alias R.A. Wiranatakusumah I (1763-1794) putra bupati keempat, dan R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829) putra bupati kelima. Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II, tepatnya akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni di Nusantara termasuk di Priangan berakhir. Hal itu terjadi karena VOC bangkrut akibat para pejabatnya melakukan korupsi. 5. Penutup Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Bandung sebagai nama tempat muncul dalam panggung sejarah sejak berdirinya Kabupaten Bandung yang dibentuk oleh Sultan Agung Raja Mataram. Pembentukan kabupten itu dilatarbelakangi oleh dua fakrtor yang berkaitan erat. Pertama, pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram. Kedua, kekhawatiran penguasa Mataram akan terjadinya gejolak di Priangan sebagai dampak dari penumpasan pemberontakan Dipati Ukur, yang berarti berakhirnya jabatan wedana bupati di Priangan. Meskipun Kabupaten Bandung merupakan kabupten vassal Mataram, tetapi pemerintahan kabupaten itu berlangsung secara otonom, tanpa campur tangan pihak Mataram. Hal itu disebabkan oleh jarak yang sangat jauh dan sulitnya komunikasi antara penguasa Mataram sebagai subyek kekuasaan dengan Bupati/Kabupaten Bandung sebagai obyek kekuasaannya. Di bawah kekuasaan Kompeni pun, pemerintahan Kabupaten Bandung dapat dikatakan tidak mengalami perubahan akibat pengaruh Kompeni. Hal itu disebabkan pentingnya peranan bupati bagi keberhasilan Kompeni melakukan eksploitasi ekonomi melalui Preangerstelsel. Oleh karena itu, Kompeni tidak mengganggu kedudukan bupati, baik sebagai kepala pemerintahan kabupaten maupun sebagai pemimpin tradisional. Kondisi itu berlangsung sampai berakhirnya kekuasaan Kompeni di Nusantara pada akhir abad ke-18. Namun sampai waktu itu kehidupan di Bandung masih bersifat tradisional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar