Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung terjadi sebelum 27 Juli
1920, dimana gedung yang dulu memiliki nama Gouvernemens Bedrijven (GB)
ini selesai dirancang cetak birunya oleh sebuah tim yang beranggotakan
Ir. J. Gerber, Ir. G. Hendriks, dan Ir. Eh. De Roo. Rancangan cetak biru
gedung GB ini juga melibatkan Gementee (walikota) Bandung yang pada
masa itu dengan Kol.Pur. VL. Slors sebagai ketua mereka. Untuk membangun
gedung GB ini dibutuhkan 2.000 orang pekerja, dimana 150 diantaranya
merupakan orang Tiongkok dan bertugas sebagai pengukir kayu atau pemahat
batu. Dari sisa 1.850 pekerja, hampir seluruhnya pernah memiliki
pengalaman membangun gedung penting karena mereka pernah bekerja dalam
pembangunan Gedong Sirap (ITB) dan Gedong Papak.
Perjalanan Sejarah Gedung Sate Dari Zaman Belanda
Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung mulai tercatat ketika batu pertama diletakkan pada tanggal 27 Juli 1920. Peletakkan batu pertama ini dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama dengan Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. Pembangunan gedung yang bertujuan untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda ini memilih kota Bandung sebagai ibu kota karena menurut mereka, iklim kota Bandung pada masa itu mirip dengan iklim yang ada di Perancis Selatan kala musim panas tiba.
4 tahun adalah waktu yang dibutuhkan oleh tim beranggotakan 2.000
orang itu untuk menyelesaikan GB, tepatnya pada bulan September 1942.
Ketika selesai, bagian gedung yang termasuk di dalamnya adalah bangunan
utama GB itu sendiri yang di dalamnya terdapat kantor pusat pos,
Perpustakaan (PTT), serta telepon dan telegraf. Ternyata, kemegahan dan
keunikan yang disajikan oleh Gedung Sate ini tidak dikerjakan oleh Ir.
J. Gerber sendirian, karena ia mendapatkan banyak masukan dari maestro
Belanda dalam bidang seni arsitektur, yaitu Dr. Hendrik Petrus Berlage.
Berlage menyarankan Gerber bahwa ia harus memasukkan sedikit nuansa
tradisional Indonesia dalam gedung yang akan ia buat di daerah Indonesia
tersebut.
Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.
Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan pagoda yang ada di Thailand. Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.
Awal sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung dibangun agar bisa menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, tepat setelah Batavia dinilai tidak lagi pantas menjadi ibu kota karena perkembangannya. Pengguna awal gedung ini ditargetkan adalah Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum. Namun dialih fungsikan sehingga hanya Jawatan Pekerjaan Umum yang menggunakan gedung ini. Pada tanggal 3 Desember 1945, terjadi peristiwa berdarah dimana peristiwa tersebut merenggut nyawa 7 orang pemuda yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan gedung yang indah tersebut dari pasukan-pasukan Gurkha yang berusaha menyerang. Demi mengenang ke-7 orang pemuda yang dengan gagah berani menggadaikan nyawa, dibuatlah sebuah tugu peringatan dengan batu sebagai bahannya dan diletakkan di bagian belakang halaman Gedung Sate. Tugu ini kemudian dipindahkan pada 3 Desember 1970 atas perintah dari Menteri Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1980, GB kemudian lebih dikenal dengan nama Kantor Gubernur. Hal ini masuk akal karena gedung ini kemudian menjadi pusat aktivitas dari pemerintahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya, pusat pemerintahan di Jawa Barat terletak di Gedung Kerta Mukti yang ada di Jalan Braga, Bandung. Ruang kerja bagi Gubernur terpilih terdapat di lantai 2. Di lantai tersebut, juga terdapat ruangan bagi para Wakil Gubernur, Asisten Biro, dan Sekretaris Daerah.
Kesempurnaan GB sendiri semakin memesona ketika gedung baru yang “menyontek” gaya arsitektur Gedung Sate dengan sedikit sentuhan asli buah karya Ir. Sudibyo dibangun pada tahun 1977. Gedung baru yang menambahkan daftar cerita dalam sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung ini diperuntukkan khusus bagi para Anggota DPRD provinsi Jawa Barat ketika mereka harus melaksanakan tugas mereka sebagai penyampai aspirasi masyarakat daerah yang mereka ayomi. Gedung ini juga kini menjadi objek wisata kota karena beberapa dari mereka mengaku memiliki ikatan emosi maupun sejarah dengan gedung yang dibuat pada masa kolonial Belanda tersebut.
Perjalanan Sejarah Gedung Sate Dari Zaman Belanda
Sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung mulai tercatat ketika batu pertama diletakkan pada tanggal 27 Juli 1920. Peletakkan batu pertama ini dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, putri sulung dari Walikota Bandung saat itu, B. Coops, bersama dengan Petronella Roelefsen yang menjadi wakil Gubernur Jendral J.P Graaf Van Limburg Stirum. Pembangunan gedung yang bertujuan untuk dijadikan pusat pemerintahan Belanda ini memilih kota Bandung sebagai ibu kota karena menurut mereka, iklim kota Bandung pada masa itu mirip dengan iklim yang ada di Perancis Selatan kala musim panas tiba.
Selama proses pembuatan dan penyelesaiannya, Gedung Sate di Bandung menuai banyak pujian dari banyak kalangan. Rata-rata pujiannya berisi tentang betapa mempesonanya gedung yang memiliki gaya arsitektur lain dari yang lain ini, hingga menyebut gaya tersebut sebagai Indo Europeeschen architectuur stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). D. Ruhl juga menuliskan bahwa menurutnya Gedung Sate adalah gedung dengan gaya arsitektur yang paling indah di Indonesia. Tulisannya ini bisa ditemui pada buku dengan judul Bandoeng en haar Hoogvlakte yang diterbitkan pada tahun 1952. Pendapat lain muncul dari dua arsitek terkenal Belanda yaitu Cor Pashier dan Jam Wittenberg, dimana menurut mereka Gedung Sate adalah hasil eksperimen penggabungan dua gaya arsitektur yaitu Indonesia dan Eropa.
Dalam rancangan cetak biru GB, Gerber menyatukan beberapa gaya arsitektur, seperti misalnya pada jendela, tema yang digunakan adalah Moor Spanyol. Gaya yang berbeda digunakan untuk bangunan secara keseluruhan yang bergaya Rennaisance Italia. Untuk menaranya sendiri, Gerber memilih gaya Asia, terutama gaya atap pura yang ada di Bali dan pagoda yang ada di Thailand. Dilihat pada atap GB, puncaknya dihiasi dengan “tusuk sate” yang memiliki 6 buah benda bulat. Terjadi perdebatan tentang benda ini, dimana ada versi yang mengatakan bahwa benda tersebut adalah sate, jambu air, atau bahkan melati yang berjumlah 6 buah. Jumlah benda tersebut adalah representasi dari biaya pembangunan gedung megah itu, yaitu 6 juta gulden.
Awal sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung dibangun agar bisa menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda, tepat setelah Batavia dinilai tidak lagi pantas menjadi ibu kota karena perkembangannya. Pengguna awal gedung ini ditargetkan adalah Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum. Namun dialih fungsikan sehingga hanya Jawatan Pekerjaan Umum yang menggunakan gedung ini. Pada tanggal 3 Desember 1945, terjadi peristiwa berdarah dimana peristiwa tersebut merenggut nyawa 7 orang pemuda yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mempertahankan gedung yang indah tersebut dari pasukan-pasukan Gurkha yang berusaha menyerang. Demi mengenang ke-7 orang pemuda yang dengan gagah berani menggadaikan nyawa, dibuatlah sebuah tugu peringatan dengan batu sebagai bahannya dan diletakkan di bagian belakang halaman Gedung Sate. Tugu ini kemudian dipindahkan pada 3 Desember 1970 atas perintah dari Menteri Pekerjaan Umum.
Pada tahun 1980, GB kemudian lebih dikenal dengan nama Kantor Gubernur. Hal ini masuk akal karena gedung ini kemudian menjadi pusat aktivitas dari pemerintahan yang ada di Provinsi Jawa Barat. Sebelumnya, pusat pemerintahan di Jawa Barat terletak di Gedung Kerta Mukti yang ada di Jalan Braga, Bandung. Ruang kerja bagi Gubernur terpilih terdapat di lantai 2. Di lantai tersebut, juga terdapat ruangan bagi para Wakil Gubernur, Asisten Biro, dan Sekretaris Daerah.
Kesempurnaan GB sendiri semakin memesona ketika gedung baru yang “menyontek” gaya arsitektur Gedung Sate dengan sedikit sentuhan asli buah karya Ir. Sudibyo dibangun pada tahun 1977. Gedung baru yang menambahkan daftar cerita dalam sejarah berdirinya Gedung Sate di Bandung ini diperuntukkan khusus bagi para Anggota DPRD provinsi Jawa Barat ketika mereka harus melaksanakan tugas mereka sebagai penyampai aspirasi masyarakat daerah yang mereka ayomi. Gedung ini juga kini menjadi objek wisata kota karena beberapa dari mereka mengaku memiliki ikatan emosi maupun sejarah dengan gedung yang dibuat pada masa kolonial Belanda tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar