Filosofi penyediaan energi listrik di Indonesia mengalami perubahan dengan dicanangkannya program 35.000 MW. Kalau sebelumnya, pemerintah memenuhi listrik dari berapa kebutuhan (demand) yang ada, saat ini Pemerintah menyediakan infrastruktur listriknya, lalu investor dipersilakan untuk datang. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Agoes Triboesono saat membawakan presentasi dalam Forum Ketahanan Energi Nasional di Hotel Sahid Jakarta, Kamis (8/9).
Menurut Agoes perubahan filosofis tersebut dikarenakan banyaknya permintaan dari para investor terkait ketersediaan listrik jika ingin mengembangkan usaha di Indonesia. “Jadi kita menyediakan infrastrukturnya karena banyak investor-investor baru selalu bertanya mana listriknya, saya dapat listrik dari mana,” ungkap Agoes. Dulu karena infrastruktur listrik belum tersedia, mereka memasang pembangkit sendiri. “Nah itu membuat investasi mereka jadi lebih mahal. Kalau lebih mahal, produksinya juga jadi lebih mahal, karena produksinya mahal jadi tidak bisa bersaing di dunia global,” ungkap Agoes. Jika program 35.000 MW berjalan dengan baik, Agoes mengungkapkan bahwa investor akan datang dengan segala infrastruktur yang telah tersedia.
Agoes Triboesono juga menyampaikan optimisme pemerintah dalam pembangunan 35.000 MW. Pemerintah sendiri telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mempersingkat proses perizinan dan menyelesaikan beberapa kendala. Agoes juga menyebutkan bahwa tambahan 7.000 MW dari total 42.000 MW akan selesai sekitar tahun 2017. “Yang tujuh ribu ini bukan 2019 operasinya, kita harapkan sekitar 2017 paling lambat itu sudah masuk semua,” jelasnya. Selain membangun pembangkit listrik, program 35.000 MW juga fokus pada pembangunan jaringan transmisi listrik. “Jaringan Transmisi kita targetkan kita akan membangun tambahan sekitar 46.630 kms” ungkap Agoes.
Dalam penyediaan listrik kepada masyarakat, pemerintah memiliki filosofi penyediaan listrik yang lebih sederhana dan cepat. Menurut Agoes, tolok ukur keberhasilannya ada pada peringkat Indonesia dalam survey world bank terkait getting electricity. Ia menyebutkan bahwa dulu untuk mendapatkan listrik ada tujuh prosedur yang harus dilalui, sedangkan sejak tahun 2015 telah dikurangi menjadi lima prosedur. “Waktunya juga atau kecepatannya tahun 2012 itu 108 hari sekarang waktunya tinggal 79 hari,” ungkap Agoes. Di tahun 2012 hasil survey Worldbank menunjukkan Indonesia berada pada peringkat 161 getting electricity. “Di 2016 alhamdulillah sudah membaik diperingkat 46. Target kita di 2017 nanti mudah-mudahan bisa masuk 20 besar,” kata Agoes.
Selain filosofi dari penyediaan infrastruktur energi, pemerintah juga merubah paradigma masyarakat soal subsidi energi. Menurut Agoes, pemerintah masih memberikan subsidi kepada pelanggan listrik yang dianggap tidak mampu. Di 2017 menurut Agoes, pemerintah akan mengajukan subsidi untuk pelanggan yang tidak mampu sekitar 48,56 Triliun dengan catatan bahwa nanti pelanggan 900VA akan dipisahkan menjadi pelanggan yang benar-benar tidak mampu untuk diberi subsidi dengan pelanggan yang benar-benar mampu yang tidak perlu disubsidi lagi. (MH/PSJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar