Dalam cerita rakyat, kita mengenal legenda Roro Jonggrang di Candi
Prambanan. Kita tidak tahu banyak, sejak kapan kisah Roro Jonggrang
melegenda, dan apakah patung yang disebut Roro Jonggrang di Candi
Prambanan tersebut betul mewakili legenda tersebut? Roro Jonggrang
adalah seorang putri raja yang tidak senang orang tuanya ditaklukkan dan
dia diminta menjadi istri sang raja penakluk. Dia berupaya menolak
dengan berbagai upaya, dan karena sang raja penakluk marah maka dia
dijadikan patung.
Kita bisa melihat bahwa pada Candi Prambanan terdapat relief kisah
mulia Ramayana dan di dunia ini hanya di Candi Prambananlah kisah
Ramayana dipahat pada dinding candi sebagai relief. Kita perlu mengenal
kisah Ramayana, dimana disebutkan bahwa Sri Rama yang sering disebut
Titisan Sri Vishnu pun pada saat perang melawan Ravana berdoa kepada
Bunda Alam Semesta yang berwujud sebagai Durga. Patung yang disebut Roro
Jonggrang tersebut adalah patung Durga Mahishasuramardini, Durga yang
mengalahkan asura Mahisha. Patung yang menggambarkan Dewi bertangan
delapan dan menginjak kerbau (mahisha) tersebut tidak ada kaitannya
dengan Roro Jonggrang tetapi jelas menggambarkan patung Durga
Mahishasuramardini. Kata Prambanan sendiri berasal dari Param Brahman,
Kebenaran Mutlak Tertinggi.
Dikisahkan Resi Markandeya menceritakan kisah Bunda Alam Semesta
kepada Resi Baguri. Resi Markandeya bercerita bahwa adalah Raja Suradha
yang diusir dari kerajaan oleh rakyatnya sendiri bertemu di sebuah hutan
dengan pengusaha Samadhi yang diusir oleh istri dan anak-anaknya.
Mereka berdua merasa bahwa kejadian yang menimpa mereka berada di luar
kewajaran. Kemudian mereka berdua menemui Resi Sumedha yang mengatakan
bahwa mereka mengalami ilusi yang disebabkan Mahadewi bernama
Vishnumaya. Mereka berdua ingin mengetahui kisah Mahadewi Vishnumaya
atau ibunda para dewa, dan diceritakanlah kisah Dewi Mahatmya yang
terdiri dari 3 cerita. Durga Mahishamardini adalah kisah Mahalaksmi,
nama lain dari Bunda Alam Semesta yang membunuh asura di kala seluruh
dewa tidak sanggup mengalahkan sang asura.
Asura Mahisha adalah seorang raja yang kuat dalam bertapa, dia
memiliki power of the will (niat yang kuat), power of action (kerja
keras), power of knowlege (ilmu yang dalam), tetapi tidak mempunyai
power of knowingness (power of wisdom, atau kesadaran). Brahma
menemuinya dan menanyakan apa obsesi sang asura. Mahishasura memohon
Brahma agar dia dapat hidup abadi dan Brahma menyampaikan bahwa itu
berada di luar kewenangannya. Kemudian Mahishasura meminta bahwa dia
tidak bisa dikalahkan oleh seluruh manusia dan dewa, dan dia hanya dapat
dikalahkan oleh seorang perempuan. Brahma mengabulkan permohonannya,
dan Mahishasura bergembira karena Trimurti yaitu Brahma, Shiva dan
Vishnu pun termasuk dewa sehingga dia tidak dapat dikalahkan oleh
mereka. Kalau mereka tidak mengalahkannya, apalagi makhluk ciptaan
mereka yang berjenis perempuan, maka menurut pikirannya dia tidak akan
dapat dikalahkan.
Mahishasura kemudian dengan para panglima dan pasukannya mengalahkan
para dewa dan menguasai tiga dunia. Di bawah penguasaan Mahishasura yang
lalim kondisi masyarakat tiga dunia semakin menderita. Di kala Trimurti
kewalahan menghadapi permasalahan, maka Bunda Alam Semesta akan datang
membantu. Dalam lain kisah tentang Bhandasura, para dewa yang tidak
dapat menyelesaikan masalah mendapat bantuan dari Bunda Alam Semesta
yang mewujud sebagai Dewi Lalita Parameswari.
Para dewa menghadap Vishnu, Shiva dan Brahma menyampaikan
kesewenang-wenangan Mahishasura dan keangkuhan bicaranya bahwa tidak ada
satu pun dewa termasuk Trimurti yang dapat menaklukkannya. Vishnu,
Shiva dan Brahma dan seluruh dewa sedang memuncak kemarahannya akibat
tindakan Mahishasura. Dan, kekuatan kemarahan terhadap kejahatan
tersebut memunculkan sinar yang sangat cemerlang yang membentuk wujud
seorang perempuan. Dewi yang muncul ini kemudian diperkuat dengan
berbagai senjata oleh semua dewa. Bunda Alam Semesta yang mewujud
sebagai akibat kemarahan para dewa ini merupakan kekuatan yang akan
mengalahkan Mahishasura. Sang dewi berkata, “Aku adalah pengantin abadi
dari ParamaPurusha. Kekuatanku menciptakan alam semesta. Dia adalah
“belahan jiwaku”…… Aku hanya aspek lain dari prinsip abadi. Sama seperti
sepotong besi yang ditarik oleh sebuah magnet, Dia menjiwai aku. Jika
Mahishasura ingin hidup, dia harus berdamai dengan dewa dan kembali ke
bumi atau ke dunia lain. Apabila dia tidak ingin hidup dia harus
menghadapiku dalam pertempuran!”
Mahishasura tidak mau tunduk kepada sang dewi dan bersama pasukannya
menyerang Sang dewi. Sang dewi segera menciptakan pasukan yang
sebanding. Mahisha menarik busur dan meluncurkan banyak anak panah, dan
pertempuran dimulai. Setiap anak panah Mahisha dijatuhkan sang dewi
dengan anak panahnya. Dalam waktu singkat pasukan Mahishasura telah
dapat dikalahkan pasukan sang dewi. Sang dewi kemudian melemparkan Pasa
(tali pengikat) untuk mengikat Mahisha akan tetapi Mahisha mengambil
wujud sebagai singa dan mencoba menerkan sang dewi. Sang dewi menebasnya
dengan pedangnya dan matilah sang singa. Kemudian Mahisha mengambil
wujud sebagai gajah dan melemparkan batu-batu besar ke arah sang dewi
dan singa yang dinaikinya. Batu-batu tersebut dihancurkan oleh sang dewi
dan kemudian sang dewi kembali membunuhnya dengan pedang. Selanjutnya
Mahisha mengambil wujud sebagai seekor kerbau dan menanduk sang dewi.
Sang dewi memukulnya dengan menggunakan trisula sampai sang asura
pingsan. Pingsan sebentar sang asura siuman kembali dan menerjang sang
dewi dengan mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga. Sang dewi
segera menginjaknya sehingga kerbau tersebut tidak dapat bergerak dan
kemudian mengakiri hidup sang asura dengan sebuah cakra.
Mahisha adalah lambang dari obsesi (kama, nafsu) dan kemarahan
(krodha) seorang penguasa yang membuatnya menjadi serakah (lobha).
Ketiga sifat itu seharusnya dilepaskan karena ketiganya menutupi cermin
kesadaran sehingga cerminnya tidak nampak lagi. Kama, krodha dan lobha
lebih tangguh daripada musuh yang terlihat mata. Kadang-kadang kemarahan
mengambil wujud sebagai orang yang tersenyum yang sangat membahayakan
karena kita dapat dibuat lengah dan tidak waspada bahwa dia menyelipkan
pisau di bawah ketiaknya. Mahishasura selalu berubah wujud, seperti
pikiran yang berubah wujud dan berkembang biak sangat cepat. Jika kita
memukulnya sebagai kerbau dia akan mewujud sebagai gajah. Bila kita
membunuh sebagai gajah dia akan mengambil bentuk yang lain, sehingga
manusia sulit mengalahkannya. Energi kita akan habis untuk melawannya.
Keinginan satu dipotong akan berubah wujud menjadi keinginan lainnya.
Kecuali kita dapat memotong sampai ke akar-akarnya, ke sumbernya, atau
menaklukkan esensinya. Keinginan adalah bukan wujud luar dari tindakan
tetapi adalah kecenderungan yang dalam. Bahkan seseorang yang nampaknya
tidak bertindak apa-apa bisa saja menyimpan keinginan yang dalam.
Kekotoran dari kama, krodha dan lobha ini dapat dihapus dengan karma
yoga, melayani tanpa kepentingan pribadi. Sedangkan keinginan dari kama,
krodha dan lobha dapat dihapus oleh upasana, kedekatan dengan Yang Maha
Kuasa. Setelah karma yoga dan upasana kita harus masuk selalu berupaya
untuk selalu berada dalam kesadaran. Ajnana atau ketidaktahuan lebih
halus bentuknya daripada kekotoran dan keinginan. Ketidaktahuan akan
Kebenaran, Avidya atau Ajnana membuat kita menginginkan sesuatu. Mengapa
angin bertiup kuat? Sebab, matahari tertutup oleh awan, yang
menimbulkan kegelapan dan kemudian badai topan mulai bertiup berupaya
menumbangkan pohon diri. Kala Atman ditutupi oleh awan ketidaktahuan,
angin keinginan mulai berhembus dan mendatangkan badai kemarahan dan
kekerasan. Kisah Devi Mahatmya mengajarkan transformasi dari sifat alam
tamas, rajas dan satvik. Tamas mewakili kemalasan, rajas mewakili
kemarahan. Satvik pun merupakan kaca transparan yang menghalangi antara
kita dengan Kebenaran. Kita dapat melihat kebenaran tetapi tidak dapat
mencapainya.
Tiga bagian Candi Prambanan (Bhur mewakili tanah, Bhuvah/atmosfir
mewakili air dan Svaha mewakili api), kesemuanya ada kaitannya dengan
body, mind and soul. Setelah Bhur, Bhuvah, Svah masih ada banyak
tingkatan menuju soul, diantaranya Mahah, Janah, Tapah, Satyam……. Dalam
buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment,
Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing , dan Catatan Oleh Anand
Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 yang disampaikan……. Bhagavad
Gita – Nyanyian Ilahi – menjelaskan dengan sangat apik: “Terbakar habis
oleh api, sebagaimana kayu menjadi abu; seperti itu pula ‘akibat’ dari
segala perbuatan yang di-‘sebab’-kan oleh ketidaktahuan dan
ketidaksadaran, terbakar habis oleh nyala api pengetahuan sejati dan
kesadaran.” (BAB IV, AYAT 37). Hukum Sebab-Akibat, Gravitas,
Ketertarikan Relativitas – semuanya dapat dilampaui. Hukum fisika
mengikat fisik kita. Satu-satunya cara untuk melampaui hukum tersebut
adalah dengan melampaui kesadaran fisik. Bicara tentang fisik maka
pikiran, emosi, perasaan, dan segala tetek-bengek lainnya, termasuk
prana, atau energi kehidupan, dan getaran-getaran kasar maupun halus
yang merupakan inti atau esensi penciptaan, semuanya adalah fisik,
materi, semuanya benda. Hukum fisika adalah hukum kebendaan. Segala
sesuatu yang memiliki wujud, rupa, bentuk dan/atau nama adalah benda.
Jangankan sesuatu yang dapat diungkapkan atau dijelaskan, sesuatu yang
baru terpikir atau terasa pun masih berada dalam alam fisika, alam
kebendaan. Alam fisika ini, kebendaan ini, kesadaran jasmani ini
hanyalah terlampaui ketika ketidaktahuan kita, kesalahpahaman kita
tentang definisi fisik “terbakar habis”. Tidak tersisa lagi. Ketika kita
sadar sesadar-sadarnya bahwa apa pun yang terjelaskan, terpikir, dan
terasa bukanlah kesadaran. Lain, kesadaran itu apa? Ah! Svaahaa – Ya,
itulah!……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar