Senin, 26 Desember 2016

Filosofi Patung Durga

Dalam cerita rakyat, kita mengenal legenda Roro Jonggrang di Candi Prambanan. Kita tidak tahu banyak, sejak kapan kisah Roro Jonggrang melegenda, dan apakah patung yang disebut Roro Jonggrang di Candi Prambanan tersebut betul mewakili legenda tersebut? Roro Jonggrang adalah seorang putri raja yang tidak senang orang tuanya ditaklukkan dan dia diminta menjadi istri sang raja penakluk. Dia berupaya menolak dengan berbagai upaya, dan karena sang raja penakluk marah maka dia dijadikan patung.
Kita bisa melihat bahwa pada Candi Prambanan terdapat relief kisah mulia Ramayana dan di dunia ini hanya di Candi Prambananlah kisah Ramayana dipahat pada dinding candi sebagai relief. Kita perlu mengenal kisah Ramayana, dimana disebutkan bahwa Sri Rama yang sering disebut Titisan Sri Vishnu pun pada saat perang melawan Ravana berdoa kepada Bunda Alam Semesta yang berwujud sebagai Durga. Patung yang disebut Roro Jonggrang tersebut adalah patung Durga Mahishasuramardini, Durga yang mengalahkan asura Mahisha. Patung yang menggambarkan Dewi bertangan delapan dan menginjak kerbau (mahisha) tersebut tidak ada kaitannya dengan Roro Jonggrang tetapi jelas menggambarkan patung Durga Mahishasuramardini. Kata Prambanan sendiri berasal dari Param Brahman, Kebenaran Mutlak Tertinggi.
Dikisahkan Resi Markandeya menceritakan kisah Bunda Alam Semesta kepada Resi Baguri. Resi Markandeya bercerita bahwa adalah Raja Suradha yang diusir dari kerajaan oleh rakyatnya sendiri bertemu di sebuah hutan dengan pengusaha Samadhi yang diusir oleh istri dan anak-anaknya. Mereka berdua merasa bahwa kejadian yang menimpa mereka berada di luar kewajaran. Kemudian mereka berdua menemui Resi Sumedha yang mengatakan bahwa mereka mengalami ilusi yang disebabkan Mahadewi bernama Vishnumaya. Mereka berdua ingin mengetahui kisah Mahadewi Vishnumaya atau ibunda para dewa, dan diceritakanlah kisah Dewi Mahatmya yang terdiri dari 3 cerita. Durga Mahishamardini adalah kisah Mahalaksmi, nama lain dari Bunda Alam Semesta yang membunuh asura di kala seluruh dewa tidak sanggup mengalahkan sang asura.
Asura Mahisha adalah seorang raja yang kuat dalam bertapa, dia memiliki power of the will (niat yang kuat), power of action (kerja keras), power of knowlege (ilmu yang dalam), tetapi tidak mempunyai power of knowingness (power of wisdom, atau kesadaran). Brahma menemuinya dan menanyakan apa obsesi sang asura. Mahishasura memohon Brahma agar dia dapat hidup abadi dan Brahma menyampaikan bahwa itu berada di luar kewenangannya. Kemudian Mahishasura meminta bahwa dia tidak bisa dikalahkan oleh seluruh manusia dan dewa, dan dia hanya dapat dikalahkan oleh seorang perempuan. Brahma mengabulkan permohonannya, dan Mahishasura bergembira karena Trimurti yaitu Brahma, Shiva dan Vishnu pun termasuk dewa sehingga dia tidak dapat dikalahkan oleh mereka. Kalau mereka tidak mengalahkannya, apalagi makhluk ciptaan mereka yang berjenis perempuan, maka menurut pikirannya dia tidak akan dapat dikalahkan.
Mahishasura kemudian dengan para panglima dan pasukannya mengalahkan para dewa dan menguasai tiga dunia. Di bawah penguasaan Mahishasura yang lalim kondisi masyarakat tiga dunia semakin menderita. Di kala Trimurti kewalahan menghadapi permasalahan, maka Bunda Alam Semesta akan datang membantu. Dalam lain kisah tentang Bhandasura, para dewa yang tidak dapat menyelesaikan masalah mendapat bantuan dari Bunda Alam Semesta yang mewujud sebagai Dewi Lalita Parameswari. Para dewa menghadap Vishnu, Shiva dan Brahma menyampaikan kesewenang-wenangan Mahishasura dan keangkuhan bicaranya bahwa tidak ada satu pun dewa termasuk Trimurti yang dapat menaklukkannya. Vishnu, Shiva dan Brahma dan seluruh dewa sedang memuncak kemarahannya akibat tindakan Mahishasura. Dan, kekuatan kemarahan terhadap kejahatan tersebut memunculkan sinar yang sangat cemerlang yang membentuk wujud seorang perempuan. Dewi yang muncul ini  kemudian diperkuat dengan berbagai senjata oleh semua dewa. Bunda Alam Semesta yang mewujud sebagai akibat kemarahan para dewa ini merupakan kekuatan yang akan mengalahkan Mahishasura. Sang dewi berkata, “Aku adalah pengantin abadi dari ParamaPurusha. Kekuatanku menciptakan alam semesta. Dia adalah “belahan jiwaku”…… Aku hanya aspek lain dari prinsip abadi. Sama seperti sepotong besi yang ditarik oleh sebuah magnet, Dia menjiwai aku. Jika Mahishasura ingin hidup, dia harus berdamai dengan dewa dan kembali ke bumi atau ke dunia lain. Apabila dia tidak ingin hidup dia harus menghadapiku dalam pertempuran!”
Durga
Mahishasura tidak mau tunduk kepada sang dewi dan bersama pasukannya menyerang Sang dewi. Sang dewi segera menciptakan pasukan yang sebanding. Mahisha menarik busur dan meluncurkan banyak anak panah, dan pertempuran dimulai. Setiap anak panah Mahisha dijatuhkan sang dewi dengan anak panahnya. Dalam waktu singkat pasukan Mahishasura telah dapat dikalahkan pasukan sang dewi. Sang dewi kemudian melemparkan Pasa (tali pengikat) untuk mengikat Mahisha akan tetapi Mahisha mengambil wujud sebagai singa dan mencoba menerkan sang dewi. Sang dewi menebasnya dengan pedangnya dan matilah sang singa. Kemudian Mahisha mengambil wujud sebagai gajah dan melemparkan batu-batu besar ke arah sang dewi dan singa yang dinaikinya. Batu-batu tersebut dihancurkan oleh sang dewi dan kemudian sang dewi kembali membunuhnya dengan pedang. Selanjutnya Mahisha mengambil wujud sebagai seekor kerbau dan menanduk sang dewi. Sang dewi memukulnya dengan menggunakan trisula sampai sang asura pingsan. Pingsan sebentar sang asura siuman kembali dan menerjang sang dewi dengan mengeluarkan raungan yang memekakkan telinga. Sang dewi segera menginjaknya sehingga kerbau tersebut tidak dapat bergerak dan kemudian mengakiri hidup sang asura dengan sebuah cakra.
Mahisha adalah lambang dari obsesi (kama, nafsu) dan kemarahan (krodha) seorang penguasa yang membuatnya menjadi serakah (lobha). Ketiga sifat itu seharusnya dilepaskan karena ketiganya menutupi cermin kesadaran sehingga cerminnya tidak nampak lagi. Kama, krodha dan lobha lebih tangguh daripada musuh yang terlihat mata. Kadang-kadang kemarahan mengambil wujud sebagai orang yang tersenyum yang sangat membahayakan karena kita dapat dibuat lengah dan tidak waspada bahwa dia menyelipkan pisau di bawah ketiaknya. Mahishasura selalu berubah wujud, seperti pikiran yang berubah wujud dan berkembang biak sangat cepat. Jika kita memukulnya sebagai kerbau dia akan mewujud sebagai gajah. Bila kita membunuh sebagai gajah dia akan mengambil bentuk yang lain, sehingga manusia sulit mengalahkannya. Energi kita akan habis untuk melawannya. Keinginan satu dipotong akan berubah wujud menjadi keinginan lainnya. Kecuali kita dapat memotong sampai ke akar-akarnya, ke sumbernya, atau menaklukkan esensinya. Keinginan adalah bukan wujud luar dari tindakan tetapi adalah kecenderungan yang dalam. Bahkan seseorang yang nampaknya tidak bertindak apa-apa bisa saja menyimpan keinginan yang dalam. Kekotoran dari kama, krodha dan lobha ini dapat dihapus dengan karma yoga, melayani tanpa kepentingan pribadi. Sedangkan keinginan dari kama, krodha dan lobha dapat dihapus oleh upasana, kedekatan dengan Yang Maha Kuasa. Setelah karma yoga dan upasana kita harus masuk selalu berupaya untuk selalu berada dalam kesadaran. Ajnana atau ketidaktahuan lebih halus bentuknya daripada kekotoran dan keinginan. Ketidaktahuan akan Kebenaran, Avidya atau Ajnana membuat kita menginginkan sesuatu. Mengapa angin bertiup kuat? Sebab, matahari tertutup oleh awan, yang menimbulkan kegelapan dan kemudian badai topan mulai bertiup berupaya menumbangkan pohon diri. Kala Atman ditutupi oleh awan ketidaktahuan, angin keinginan mulai berhembus dan mendatangkan badai kemarahan dan kekerasan. Kisah Devi Mahatmya mengajarkan transformasi dari sifat alam tamas, rajas dan satvik. Tamas mewakili kemalasan, rajas mewakili kemarahan. Satvik pun merupakan kaca transparan yang menghalangi antara kita dengan Kebenaran. Kita dapat melihat kebenaran tetapi tidak dapat mencapainya.
Tiga bagian Candi Prambanan (Bhur  mewakili tanah, Bhuvah/atmosfir mewakili air dan Svaha mewakili api), kesemuanya ada kaitannya dengan body, mind and soul. Setelah Bhur, Bhuvah, Svah masih ada banyak tingkatan menuju soul, diantaranya Mahah, Janah, Tapah, Satyam……. Dalam buku “Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing , dan Catatan Oleh  Anand Krishna”, Gramedia Pustaka Utama, 2010 yang disampaikan……. Bhagavad Gita – Nyanyian Ilahi – menjelaskan dengan sangat apik: “Terbakar habis oleh api, sebagaimana kayu menjadi abu; seperti itu pula ‘akibat’ dari segala perbuatan yang di-‘sebab’-kan oleh ketidaktahuan dan ketidaksadaran, terbakar habis oleh nyala api pengetahuan sejati dan kesadaran.” (BAB IV, AYAT 37). Hukum Sebab-Akibat, Gravitas, Ketertarikan Relativitas – semuanya dapat dilampaui. Hukum fisika mengikat fisik kita. Satu-satunya cara untuk melampaui hukum tersebut adalah dengan melampaui kesadaran fisik. Bicara tentang fisik maka pikiran, emosi, perasaan, dan segala tetek-bengek lainnya, termasuk prana, atau energi kehidupan, dan getaran-getaran kasar maupun halus yang merupakan inti atau esensi penciptaan, semuanya adalah fisik, materi, semuanya benda. Hukum fisika adalah hukum kebendaan. Segala sesuatu yang memiliki wujud, rupa, bentuk dan/atau nama adalah benda. Jangankan sesuatu yang dapat diungkapkan atau dijelaskan, sesuatu yang baru terpikir atau terasa pun masih berada dalam alam fisika, alam kebendaan. Alam fisika ini, kebendaan ini, kesadaran jasmani ini hanyalah terlampaui ketika ketidaktahuan kita, kesalahpahaman kita tentang definisi fisik “terbakar habis”. Tidak tersisa lagi. Ketika kita sadar sesadar-sadarnya bahwa apa pun yang terjelaskan, terpikir, dan terasa bukanlah kesadaran. Lain, kesadaran itu apa? Ah! Svaahaa – Ya, itulah!……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar